KERAJAAN SUNDA BUKAN MITOS
Kerajaan sunda sama sekali bukan
mitos atau dongeng. Hasil rekonstruksi sejarah, kerajaan ini muncul sejak abad
ke-7, ketika Kerajaan Tarumanegara berakhir. Lokasinya di sebelah barat Sungai
Citarum Bogor. Saat kerajaan dipegang oleh Sri Baduga Maharaja, dua
kerajaan, yaitu Kawali dan Kerajaan Sunda, digabungkan menjadi
satu. Hal itu sebagaimana dalam prasasti Batu Tulis tahun 1833.
Keratonnya disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran atau Bogor sampai tahun 1579.
Buku tersebut diprakarsai oleh
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Selain Nina Lubis, hadir dalam acara tersebut
pengamat politik Eep Saepuloh Fatahm, Hasan Djafar, Lutfi Yondri, dan tim
penulis lainnya. Peluncuran buku ini diikuti mahasiswa sejarah dari Unpas, UPI
Bandung, UI, dan guru sejarah se-Jawa Barat.
Bukti penting tentang keberadaan
Kerajaan Sunda, kata Nina Lubis, yaitu adanya perjanjian politik antara
Kerajaan Sunda dan Portugis pada 21 Agustus 1522. Saat itu, Raja Sunda yang
dipimpin Ratu Samiam membuat perjanjian dengan perwakilan Portugis, Henrique de
Lame. “Bukti surat perjanjian itu sampai sekarang ada di Portugal. Perjanjian itu
dibuat karena Kerajaan Sunda terdesak oleh penyebaran Islam. Portugal diminta
membantu ketika diserang lawan. Atas bantuan itu, Kerajaan Sunda memberi
imbalan pala.
Namun, ketika pasukan Islam
menyerang Kerajaan Sunda, bantuan Portugis tak kunjung datang sampai akhirnya
menelan kekalahan. Ketika Portugis datang Fatahilah yang memimpin pasukan Islam
mampu melawan sehingga Sunda Kelapa jatuh. “Raja Sunda terakhir Nusiya Mulua
(1567-1579) tak mampu mempertahankan kekuasaannya,” katanya.
Menurut Dedi Mulyadi, selama ini
sejarah Sunda hanya sebatas pembicaraan atau muncul saat isu politik menjelang
pemilihan kepemimpinan nasional. Namun, sejarah yang ditulis secara lengkap
masih jarang sehingga dia mendorong ahli sejarah Nina Lubis menyusun sejarah
kerajaan ini. Tujuannya, agar warga Jabar memiliki referensi utuh tentang masa
lalu sehingga bisa merancang masa depan dengan baik.
“Kita bisa belajar dari masa lalu
untuk merumuskan masa depan dengan baik, jika Raja Sunda waktu lalu mampu
merancang irigasi dengan baik, sekarang kita harus membuat kebijakan pertanian
lebih baik lagi,” katanya.
Eep Saepuloh Fatah mengapresiasi
terbitnya buku sejarah Sunda ini. Eep yang juga berdarah sunda ini menganggap
kehadiran buku sejarah Sunda membuka ruang diskusi baru bagi kalangan
masyarakat Sunda untuk lebih mencintai masa lalu. Namun, kehadiran buku ini
perlu ditindak lanjuti dengan melakukan riset-riset lanjutan yang tidak
terbatas pada kerajaanya saja, lebih jauh dari itu, ruang lingkup kebudayaan
masyarakat Sunda masa lalu harus pula diteliti. “Ini langkah luar biasa, untuk
menegaskan bahwa kita orang Sunda sebagai warga dunia yang memiliki keunggulan
masa lalu,” ujar Eep.
Agus Maulana, seorang mahasiswa
sejarah mengatakan, buku yang diprakarsai Bupati Dedi Mulyadi ini sangat
bermanfaat bagi peminat ataupun mahasiswa yang bergelut dalam bidang sejarah. Pasalnya,
tulisan sejarah Sunda masih terbatas. “Kalau sejarah Majapahit atau Mataram
cukup banyak buku yang dihasilkan, tetapi sejarah Sunda masih terbatas. Buku ini
jelas menjadi referensi cukup berarti,” katanya.
SIAPA
SEBENARNYA PRABU SILIWANGI
Siapa sebenarnya Prabu Siliwangi? Pertanyaan
itu sering mengemuka ketika membahas sejarah Kerajaan Sunda. Pertanyaan itu pun
muncul dalam peluncuran buku Sejarah Kerajaan Sunda, Tabu (27/11/2013), di
Pendopo Kabupaten Purwakarta. Ahli filologi Undang A Darsa dan sejarawan Nina
Herlina Lubis meyakinkan bahwa Siliwangi itu ada. “Siliwangi itu jelas ada,”
kata Nina Lubis.
Sebutan Siliwangi sudah dikenal pada
tradisi pustaka mandala, di antaranya dalam catatan kisah perjalanan Bujangga
Manik yang pernah melewati pelataran wilayah Demak sekitar awal abad ke-16 dan
mencatatkan dirinya (brs 318-321). “Sebutan Siliwangi” juga tercatat
dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (ditulis 1548 M). Prepantun
adalah ahli cerita pantun yang dapat dimintai keterangan tentang cerita pantun,
seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi,” katanya.
Selain itu dalam naskah lontar
kropak 421 yang dinamai gemengd “campuran”, salah satu teksnya berisi silsilah
Prabu Siliwangi yang diawali (brs 1-5) dengan Punika Prabu Siliwangi, puputra
Mundingsari Ageung, puputra Mundingsari Leutik, berputra Raden Panglurahm,
puputra Pucuk Umun, “Inilah Prabu Siliwangi berputra Mundingsari Ageung, puputra Mundingsari
Leutik, berputra Raden Panglurahm, puputra Pucuk Umun.
Tentu saja dalam pustaka produk
tradisi pesantren sebagai kelanjutan tradisi kemandalaan, banyak carita
(cariosan), babad, atau wawaca-wawacan yang berisi kisah bertema Siliwangi,
termasuk dalam tradisi lisan berupa carita pantun. Raja Sunda yang manakah yang
dikenal sebagai Prabu Siliwangi? Ternyata, ada beberapa pendapat. Menurut Amir
Sutaarga, Prabu Siliwangi adalah julukan atau gelar dari tokoh Sri Baduga
Maharaja, raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran selama 39 tahun (1482-1521
M), yang dalam cerita Parahyangan dikenal dengan nama Ratu Jayadewata.
Prabu Jayadewata memang berganti
nama (silih wewangi, silihwangi, siliwangi) ketika pelantikan yang kedua
kalinya. Semula bernama Prabu Guru Dewataprana, kemudian ketika dilantik jadi
Raja Agung Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti lagi menjadi Sri Baduga
Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. “Atas dasar alasan
ganti nama atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan
julukan Siliwangi,” kata Nina Lubis, ahli sejarah dari Unpad.
Damayanti, salah seorang mahasiswa
yang hadir dalam acara tersebut merasa yakin kalau Siliwangi ada. Dia, karena
nama Siliwangi begitu mengakar di tengah masyarakat Sunda. “Bukan tanpa alasan
kalau Siliwangi muncul dalam memori orang Sunda. Karena memang raja itu ada,
tidak sebagai mitos,”katanya. Menurut dia, tugas ahli sejarah yang sekarang
perlu memberikan pembuktian secara ilmiah, untuk menunjukan bahwa Siliwangi
memang ada.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi
mengatakan, secara ilmiah sekarang telah dibuktikan bahwa Siliwangi memang ada.
“Tugas dari ahli sejarah yang menelusuri untuk membuktikan bahwa Siliwangi itu
ada atau tidak. Sekarang, lewat buku ditulis sudah dinyatakan ada. Secara ilmiah
itu bisa dibuktikan,”katanya. Dedi juga percaya bahwa memang Siliwangi ada. Siliwangi
itu dalam pandangan dia merupakan gelar yang diberikan kepada Raja Sunda. Makanya,
bukan tidak mungkin raja disebut Siliwangi tidak satu raja. “Secara intuisi,
saya juga menyakini bahw yang namanya Siliwangi itu ada. Saya mencoba belajar
dari kearifan raja ini dalam membangun ke depan lebih baik,”katanya.
Oleh: Undang Sudrajat
Pikiran Rakyat
ENAM PRASASTI DI KAWALI
Prasasti 1:
“Nihan tapa wa nu siyamulia tapa bhana pa rerecu Wastumargaling di
kuta Kawali nu mahayuna kadatuan surawisesa nu margi sakuriling dayoh nu najur
sakaladesa aya ma nu pardeuri pakena desa rahayu pakon habol jatijadibuana.”
Artinya: “Inilah tanda beliau, yang mulia Prabu Raja Wastu yang
memerintah di kota Kawali yang memperindah Keraton Surawisesa yang membuat
parit-parit sekeliling kota yang memakmurkan setiap desa. Semoga ada penerus
yang melaksanakan perbuatan kebajikan agar lama jaya di buana.”
Prasasti 2:
Berbentuk batu yang berisi pepatah yang berbunyi: “Aya ma nu nosi I
gya Kawali ini pakena kreta bener pakon nanjor najuritan.”
Artinya:
“Semoga, ada yang menghuni dajeuh Kawali ini yang melaksanakan
kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.”
Prasasti 3:
Berupa batu yang di atasnya terdapat dua tapak kaki dan tangan Raja
Niskalawastu Kencana, dan titik-titik dengan 40 lubang garis melintang.
Prasasti 4:
Berupa batu yang menyerupai Nisan yang bertuliskan: “Syang Hyang
Lingga Hyang”
Artinya: “Syang Hyang yang telah menghilang tempat abu jenajah
Prabu Wangi Lingga Buana, tragedi perang Bubat.”
Prasasti 5:
Berbentuk nisan yang berbunyi: “Syang Hyang Linggabimba”
Artinya: “Syang Hyang yang telah menghilang tempat abu jenajah
Putri Dyah Pitaloka, tragedi Perang Bubat.”
Prasasti 6:
Batu yang bertuliskan, “Ini pertinggal nu artisti rasa nyama nu
nosi Dayoh iwo ulah bate ngabi sikakereh.”
Artinya: “ini peninggalan dari orang berilmu semoga ada yang
menghuni kota ini jangan banyak tingkah bisa celaka”.
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis
Comments
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan bijak dan membangun. Terima kasih...