NOVEL: “Refleksi Dimensi: Cermin Retak di Antara Dunia”
Bab 1: Lorong Tanpa Akhir
Hujan masih turun sejak subuh, membasahi atap seng dan tanah merah di sudut desa yang seolah lupa bahwa peradaban pernah menciptakan jalanan beraspal. Di antara kabut dan sunyi, sebuah sekolah tua berdiri dengan nyaris angkuh, menantang waktu dan logika. Namanya: Sekolah Satu Atap Tamansari—tempat di mana tiga dunia pernah bertabrakan, meski tak satu pun orang dewasa menyadarinya.
Louis berdiri di ujung lorong yang panjang itu. Langit-langitnya rendah, dindingnya penuh bercak hitam jamur dan cat yang mengelupas. Tapi bukan itu yang membuatnya berhenti. Bukan juga karena lampu di atasnya berkedip-kedip seperti ingin berbicara.
Melainkan suara itu.
Suara berbisik, tapi tidak dari mulut manusia. Seperti desir angin yang paham alfabet. Seperti gema dari sesuatu yang lebih tua dari dunia ini sendiri.
Dan suara itu memanggil namanya.
"Louis… Louis… buka matamu yang ketiga."
Louis menggigit bibirnya, mencoba meredam gemetar yang menjalar dari tulang punggung hingga ujung jari. Ia menoleh ke belakang—lorong kosong. Meja-meja rusak, papan tulis setengah patah. Tak ada siapa-siapa. Tapi ketika ia menatap ke depan, lorong itu… memanjang.
Barusan saja, ia yakin dindingnya hanya lima meter di depan. Kini lorong itu seperti terus tumbuh, seolah-olah sekolah itu sedang meregangkan tubuhnya, membuka jalur rahasia ke sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Di sisi lain sekolah, Gia mengetuk-ngetukkan ujung pensilnya di meja laboratorium IPA yang penuh debu. Rambutnya diikat asal, dan dia sedang mengutak-atik papan sirkuit kecil hasil bongkaran dari ruang kepala sekolah yang tak terpakai.
"Aku bilang juga ini bukan alat biasa," gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri seperti biasa. Di tangannya, logam itu dingin, berdenyut. Seperti hidup. Dan di bagian belakangnya, terukir simbol aneh yang tidak bisa dikenali dari bahasa mana pun.
Yara sedang menulis di buku catatannya. Ia duduk di bangku belakang kelas, meski pelajaran sudah bubar sejak setengah jam lalu. Ia menulis tanpa suara, matanya kosong, tangannya bergerak cepat.
Kalimat yang muncul di kertasnya membuat bulu kuduk berdiri.
"Louis melihat lorong yang memanjang. Gia memegang kunci dimensi. Yara menulis masa depan yang belum terjadi."
Tangannya berhenti. Jantungnya berdegup pelan—kemudian cepat.
"Ini... bukan tulisanku sendiri," bisiknya.
Dan di tengah semua itu, di bawah lantai ruang komputer lama yang sudah dikunci sejak gempa lima tahun lalu, sesuatu terbangun. Benda logam yang terkubur selama dekade, tiba-tiba menyala. Titik cahaya biru berkedip.
Dengan senang hati. Kita lanjut ke Bab 2 dari novel Refleksi Dimensi: Cermin Retak di Antara Dunia.
Bab 2: Perangkat Tanpa Nama
Langit di atas Sekolah Satu Atap Tamansari berubah menjadi kelabu kehijauan. Hujan masih belum reda, tapi yang terdengar bukan hanya suara air jatuh di atas genteng. Ada dengung rendah—seperti frekuensi radio rusak—yang hanya terdengar oleh telinga yang terbuka.
Gia menatap perangkat di depannya. Potongan logam itu sudah ia bersihkan dan bongkar dengan pinset, obeng mini, dan jarum yang biasanya ia pakai untuk eksperimen iseng. Tapi tidak ada kabel, tidak ada chip, tidak ada saklar. Hanya piringan datar seukuran telapak tangan, dengan pola yang berdenyut pelan—seolah logam itu hidup dan... berpikir.
Ia menyentuh permukaannya.
Dan dalam sekejap, piringan itu menyala biru.
Cahayanya tidak terang, tapi cukup untuk menutup seluruh ruang laboratorium dalam bias aneh. Semua bayangan menjadi lebih panjang. Listrik berkedip. Rak buku gemetar.
Dan suara itu terdengar.
"Tiga penghubung telah terbangun. Dimensi tidak lagi stabil. Perangkat tidak bisa dibatalkan."
Gia mundur. Nafasnya memburu.
“Ini bukan mainan…”
Di lorong, Louis masih berdiri membatu. Lorong itu kini benar-benar tidak masuk akal. Meja-meja yang seharusnya tetap di tempat, bergeser pelan ke belakangnya. Dinding seperti bernapas. Setiap langkah yang ia ambil, gema kakinya terdengar lebih lambat... seolah waktunya tidak berjalan normal.
Ia menyentuh dinding. Dingin. Tapi ketika ia menempelkan telinga—ia mendengar.
Suara tawa kecil. Tangis. Suara Gia. Suara Yara. Suara dirinya. Tapi bukan mereka yang ia kenal.
Lalu ia melihat simbol. Di dinding, tergurat samar—lingkaran dengan tiga garis menyilang di tengah. Seperti mata, atau jendela. Ia menggambar balik dengan jari, dan ketika ia selesai—simbol itu menyala. Lorong mendadak memendek. Pintu di ujung terbuka sendiri.
Louis tahu: ia tidak lagi berada di dunia yang sama.
Yara menggenggam buku catatannya. Tangannya masih gemetar. Kalimat-kalimat yang ia tulis terus berubah sendiri—huruf-huruf bergerak, berganti bahasa. Ia melihat simbol yang sama seperti yang dilihat Louis: lingkaran dan tiga garis.
Dalam benaknya, suara perempuan terdengar:
"Dimensi bukan tempat. Dimensi adalah cermin. Dan kamu baru saja membukanya."
Tiba-tiba, dinding di depannya membelah, memperlihatkan ruang sempit yang tak seharusnya ada di balik tembok kelas. Gelap. Berdebu. Tapi di dalamnya ada kursi tua, satu layar kaca retak, dan peta besar dengan coretan-coretan aneh. Di atasnya tertulis huruf-huruf asing dan angka koordinat yang terus berubah.
Sore itu, tiga ruang terpisah telah terbuka. Tiga anak berada di ambang antara dunia nyata dan sesuatu yang belum memiliki nama.
Di bawah sekolah, perangkat itu sepenuhnya aktif. Simbol-simbol purba bersinar di batu fondasi bangunan. Dan dari celah yang sangat kecil di lantai bawah tanah, asap hitam tipis mulai merayap ke atas—membawa aroma dari dunia yang tak dikenal, dan bayangan dari kemungkinan yang seharusnya tak pernah ada.
Comments
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan bijak dan membangun. Terima kasih...