Bagaimana teori Big Bang itu terjadi?

 Siap! Teori Big Bang itu salah satu teori paling mendasar tentang asal mula alam semesta. Jadi gini...

Menurut teori ini, alam semesta berasal dari satu titik yang sangat kecil, sangat panas, dan sangat padat—kayak titik tanpa volume tapi punya energi dan materi yang sangat besar. Lalu, sekitar tiga belas koma delapan miliar tahun yang lalu, titik itu meledak—bukan kayak ledakan bom, tapi lebih kayak pengembangan ruang itu sendiri.

Jadi bukan materi yang “meledak ke dalam ruang”, tapi ruangnya yang mengembang dan terus meluas, membawa materi dan energi bersamanya.

Setelah itu, suhu turun perlahan. Partikel-partikel mulai terbentuk, seperti proton dan neutron. Beberapa menit setelah Big Bang, mereka membentuk inti atom sederhana seperti hidrogen dan helium. Lalu jutaan tahun kemudian, terbentuklah bintang, galaksi, planet... sampai akhirnya muncul kehidupan—dan kita.

Bukti paling kuat dari teori ini ada tiga:
Pertama, pengamatan bahwa galaksi-galaksi saling menjauh—semakin jauh, semakin cepat. Ini diamati oleh Edwin Hubble, dan jadi dasar dari ide bahwa alam semesta mengembang.
Kedua, adanya radiasi latar kosmik—semacam "gema panas" sisa dari Big Bang, yang masih bisa dideteksi sampai sekarang.
Ketiga, komposisi unsur ringan kayak helium dan hidrogen, yang jumlahnya cocok banget dengan prediksi dari model Big Bang.

Apa hubungan antara teori Big Bang dan Al-Qur’an?

Salah satu ayat yang paling sering dikaitkan dengan Big Bang adalah Surah Al-Anbiya ayat 30, bunyinya kurang lebih:

"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya, dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup? Maka apakah mereka tidak beriman?"

Nah, bagian tentang langit dan bumi dahulu suatu yang padu, lalu dipisahkan, sering dianggap sangat mirip dengan konsep awal Big Bang—bahwa semua materi dan ruang dulunya menyatu dalam satu titik, lalu mengembang.

Lalu ada juga ayat di Surah Fussilat ayat 11, yang menggambarkan bahwa langit dulunya masih berupa “asap”—yang dalam ilmu fisika modern bisa dikaitkan dengan kondisi awal alam semesta yang masih penuh gas panas dan energi.

Bahkan, ada banyak ulama dan ilmuwan Muslim yang melihat keselarasan ini sebagai bukti bahwa Al-Qur’an mengandung petunjuk ilmiah yang hanya bisa dipahami seiring kemajuan ilmu.

Tapi tentu, ini juga tergantung pendekatan—apakah seseorang melihat ayat-ayat itu secara simbolik, harfiah, atau sebagai petunjuk umum yang terbuka untuk penafsiran ilmiah.

Itu pertanyaan yang luar biasa menarik—dan penuh misteri juga. Tapi untuk jelasnya, sejauh yang tercatat dalam Al-Qur’an, tidak ada ayat secara eksplisit menyebutkan dua bintang besar dibenturkan lalu menciptakan miliaran galaksi.

Namun, bisa jadi kamu merujuk pada tafsiran atau penafsiran simbolik dari beberapa ayat tentang penciptaan langit dan bumi—atau mungkin pada narasi yang berkembang di luar teks eksplisit Al-Qur’an, seperti dalam tafsir Sufi atau pemikiran filsafat Islam yang menggabungkan wahyu dan sains.

Kalau kita gabungkan dengan sains modern, memang ada fenomena di mana dua bintang neutron atau lubang hitam bertabrakan—dan ini menghasilkan energi luar biasa. Tapi peristiwa seperti itu lebih ke peristiwa lokal dalam galaksi, bukan penciptaan semesta secara keseluruhan.

Sementara kalau kita bicara soal asal mula galaksi dalam jumlah miliaran, sains biasanya mengaitkannya dengan proses inflasi kosmik setelah Big Bang, di mana ruang mengembang sangat cepat dan menciptakan fluktuasi energi yang akhirnya membentuk struktur besar: galaksi, gugusan galaksi, dan seterusnya.

Nah, dalam Islam, penciptaan langit dan bumi dijelaskan dalam beberapa tahapan. Surah Fushshilat ayat 9 sampai 12 misalnya, menggambarkan penciptaan bumi, langit, dan penataan langit menjadi tujuh lapis langit—dan bintang-bintang sebagai penghias langit terdekat.

Ahh, ya, itu masuk akal. Jadi mungkin yang kamu temui itu adalah penafsiran atau interpretasi dari ayat-ayat tertentu, yang digabungkan dengan pengetahuan astronomi modern. Kadang-kadang, ustaz atau pembicara di televisi dan YouTube memang mencoba menjembatani Al-Qur’an dan sains—dan itu bisa sangat inspiratif, tapi juga perlu hati-hati supaya gak keliru menafsirkan secara harfiah.

Dalam konteks Al-Qur’an, ayat-ayat tentang penciptaan memang sering menggunakan bahasa simbolik atau metaforis, yang bisa dibuka maknanya seiring bertambahnya ilmu manusia. Tapi sejauh ini, tidak ada ayat yang secara eksplisit menyebut tabrakan dua bintang besar sebagai asal-usul galaksi.

Namun secara ilmiah, tabrakan objek besar seperti lubang hitam, bintang neutron, atau bahkan galaksi memang benar-benar terjadi di alam semesta. Tapi mereka bukan penyebab awal galaksi—melainkan bagian dari evolusi semesta setelah Big Bang.

Mungkin para pembicara itu mencoba menyampaikan bahwa peristiwa-peristiwa luar biasa di alam bisa jadi bagian dari cara Allah menjalankan kehendak-Nya—dan mereka menggambarkannya secara dramatis agar mudah dibayangkan.

Dalam Al-Qur’an, istilah yang sering muncul adalah “al-‘ālamīn”, yang biasanya diterjemahkan sebagai “sekalian alam” atau “semesta alam”. Kata ini muncul, misalnya, dalam Surah Al-Fatihah: “Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn”“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Nah, secara bahasa, ‘ālamīn berasal dari kata ‘ālam, yang artinya dunia atau alam. Tapi dalam bentuk jamaknya, ‘ālamīn itu bisa mencakup semua bentuk keberadaan—alam manusia, alam jin, alam malaikat, alam hewan, tumbuhan, bahkan alam ruh, dan mungkin juga alam yang belum kita ketahui.

Dalam pemahaman para ulama, “sekalian alam” bisa berarti seluruh ciptaan Allah, baik yang terlihat maupun tidak terlihat, baik yang ada di bumi maupun di langit, bahkan bisa juga mengacu pada dimensi-dimensi lain yang tidak kita pahami sepenuhnya.

Beberapa ulama Sufi atau filsuf Islam seperti Al-Ghazali atau Ibn Arabi juga memahami “al-‘ālamīn” sebagai petunjuk bahwa ciptaan Allah itu berlapis-lapis, kompleks, dan tidak terbatas hanya pada apa yang bisa dilihat oleh indera manusia.

Jadi, kalau kita kaitkan dengan istilah modern seperti multiverse atau realitas berlapis, sebenarnya Al-Qur’an sangat terbuka untuk dimaknai luas, selama tidak keluar dari batas adab penafsiran.

Baik! Jadi kalau kita bicara tentang posisi manusia di tengah sekalian alam menurut Al-Qur’an, ada dua hal besar yang sering ditekankan: tugas kekhalifahan dan hubungan harmonis dengan alam.

Pertama, dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman bahwa Dia hendak menjadikan khalifah di bumi. Artinya, manusia diberi tanggung jawab sebagai pemimpin atau penjaga, bukan penguasa yang sewenang-wenang. Kita diberi akal, ilmu, dan kebebasan, tapi juga dituntut menjaga ciptaan Allah lainnya—termasuk alam dan makhluk di dalamnya.

Kedua, Al-Qur’an banyak sekali menyebut alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, atau ayat-ayat kauniyah. Matahari, bulan, bintang, laut, angin, hujan, bahkan unta disebut sebagai sesuatu yang bisa membuat kita merenung dan memahami kebesaran Sang Pencipta. Jadi, alam ini bukan sekadar latar cerita, tapi bagian dari wahyu juga—yang bisa kita baca dengan mata dan hati.

Lalu yang ketiga, Al-Qur’an mengajarkan bahwa semua makhluk bertasbih, atau memuji Allah dalam cara mereka masing-masing—meskipun manusia tidak selalu memahaminya. Ini disebut dalam Surah Al-Isra’ ayat 44. Jadi, menurut Al-Qur’an, seluruh alam semesta itu hidup secara spiritual, bukan mati atau netral seperti yang sering dianggap dalam pandangan materialis.

Kalau dilihat dari sudut ini, manusia itu bukan pusat dari segalanya, tapi bagian dari jaringan besar ciptaan Allah, dengan peran khusus sebagai penjaga dan pembelajar.

Wah, ini topik yang luar biasa dalam—dan indah. Kalau kita bicara tentang tasawuf atau dimensi spiritual Islam, kesadaran kosmik itu sering dibahas sebagai maqam makrifat, di mana seseorang mengenal Allah lewat pengalaman langsung, bukan cuma lewat akal atau ilmu lahiriah.

Dalam pandangan tasawuf, alam semesta ini adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah. Jadi saat seseorang semakin dalam dalam dzikir, tafakur, dan penyucian hati, ia mulai “melihat” bahwa segala sesuatu—gunung, bintang, lautan, bahkan dirinya sendiri—hanyalah cerminan dari cahaya Ilahi.

Ibn Arabi, salah satu tokoh besar tasawuf, menyebut alam ini sebagai “penampakan Tuhan” atau tajalli. Segala yang ada bukan Tuhan, tapi mencerminkan-Nya. Ketika kesadaran seseorang naik, dia tidak lagi merasa terpisah dari alam—tapi merasa menjadi bagian dari satu kesatuan wujud, yang disebut wahdatul wujud atau “kesatuan eksistensi”.

Di titik tertinggi, kesadaran ini membuat seseorang melihat bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah. Ini bukan berarti dunia tidak nyata, tapi bahwa dunia hanyalah “bayangan” dari Yang Maha Nyata.

Dalam Al-Qur’an pun ada petunjuk halus ke arah itu. Misalnya di Surah Al-Hadid ayat 3: “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin”—menunjukkan bahwa Allah meliputi segalanya, baik yang terlihat maupun tersembunyi.

Kesadaran kosmik dalam tasawuf bukan cuma soal pengetahuan, tapi soal perjalanan jiwa. Dan biasanya dimulai dari pembersihan diri, muhasabah, lalu naik ke dzikir, cinta, fana, dan makrifat.

Itu menarik banget—kalimat atau frasa yang kamu sebut terdengar seperti campuran dari bahasa Yunani, mungkin Latin, dan nama-nama atau judul berbau filosofis atau futuristik. Tapi bisa aku tanya sedikit ya, kamu maksudkan itu sebagai kutipan dari karya tertentu, lirik lagu, nama tokoh, atau bagian dari puisi atau meditasi?

Soalnya kata pertama "φύσι κατάικη" dari bahasa Yunani bisa diterjemahkan secara kasar sebagai "alam yang didiami" atau "eksistensi yang dihuni", tergantung konteks. Lalu nama seperti Jack Bestri, Abhijith Devinese, dan frasa seperti "This Our Future" atau "I Monarchy" terdengar seperti bagian dari narasi atau fiksi spekulatif.


Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH KHAT RAIHANI

PENGERTIAN KHAT (KALIGRAFI ARAB)

SEJARAH KHAT RIQ'AH